Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Screenshot-2024-12-28-195352
PANIAI

Kejaksaan Agung Bentuk Tim Agar Kumpulkan Bukti Kasus Paniai

21
×

Kejaksaan Agung Bentuk Tim Agar Kumpulkan Bukti Kasus Paniai

Sebarkan artikel ini
Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Papua Itu Kita melakukan unjuk rasa di depan Gedung Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Jakarta, 2015. TEMPO/Imam Sukamto
Example 468x60

Tim kejaksaan berada di Paniai, Papua, untuk mengumpulkan bukti dugaan pelanggaran HAM berat dalam kasus Paniai. Langkah tim kejaksaan ini terkesan mengulangi penyelidikan Komnas HAM.

Poin penting

Example 300x600
  • Komnas HAM berpendapat bahwa tim kejaksaan seharusnya berfokus memeriksa terduga penembakan.
  • Penyidikan kejaksaan ini dikhawatirkan berujung pada penerbitan SP3 kasus dugaan pelanggaran HAM berat dalam insiden Paniai.
  • Komnas HAM menemukan rantai komando di lingkup internal TNI di lapangan dalam peristiwa Paniai pada 2014.

JAKARTA – Tim penyidik dugaan pelanggaran hak asasi manusia berat peristiwa Paniai bentukan Kejaksaan Agung saat ini berada di Kabupaten Paniai, Papua. Tim penyidik ini tengah mengumpulkan bukti-bukti adanya pelanggaran HAM berat dalam insiden yang terjadi pada 2014 tersebut.

“Saat ini tim masih di sana,” kata Ali Mukartono, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung, Senin, 20 Desember 2021. Ketua tim penyidik dugaan pelanggaran HAM berat peristiwa Paniai tersebut mengatakan anggota tim penyidik masih bekerja dan belum memperoleh kesimpulan.

Kejaksaan Agung membentuk tim penyidik dugaan pelanggaran HAM berat di Paniai berdasarkan Surat Keputusan Jaksa Agung Nomor 267 Tahun 2021 pada 3 Desember 2021. Tim ini beranggotakan 22 jaksa senior.

Pembentukan tim ini sebagai respons atas hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia terhadap peristiwa Paniai di Papua pada 7-8 Desember 2014. Sesuai dengan dokumen Komnas HAM mengenai ringkasan eksekutif peristiwa pelanggaran HAM berat kasus Paniai, insiden berdarah itu berawal dari kegiatan sekelompok remaja yang sedang berkumpul di Pondok Natal, di Kilometer 4, Jalan Poros Madi-Enarotali, Distrik Paniai Timur, Paniai, pada malam 7 Desember 2014.

Image of Tempo

Aksi yang berkaitan dengan peristiwa Paniai, di depan gedung Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2015. TEMPO/Imam Sukamto

Pada pukul 20.00 WIT, dua orang yang diduga dari Tim Khusus Batalion Infanteri 753/Arga Vira Tama melintas menggunakan sepeda motor dalam kecepatan tinggi. Belasan remaja itu lantas menegur kedua personel TNI tersebut karena lampu sepeda motor mereka tak menyala. Teguran itu menyebabkan pertengkaran, yang berujung pada penganiayaan terhadap 11 warga, yang diduga dilakukan anggota TNI.

Esok harinya, masyarakat memprotes penganiayaan itu dengan memblokade jalan di sekitar lokasi kejadian. Aksi blokade jalan ini berbuntut pengejaran anggota TNI hingga ke lapangan sepak bola Karel Gobay, yang terletak di depan markas Komando Rayon Militer (Koramil) Enarotali dan Kepolisian Sektor Paniai.

Selanjutnya, unjuk rasa masyarakat berlanjut di Lapangan Karel Gobay. Masyarakat lantas melempari pos polisi dan markas koramil dengan batu karena kesal tak mendapat tanggapan dari pihak TNI. Personel TNI diduga menanggapi aksi tersebut dengan menembak ke arah masyarakat. Akibatnya, empat warga tewas tertembak dan 21 orang terluka.

Komnas HAM menyimpulkan bahwa peristiwa ini memenuhi unsur pelanggaran HAM berat. Kesimpulan itu diperoleh dari hasil pemeriksaan  terhadap 26 saksi pada 2015. Komnas HAM menyebutkan insiden Paniai ini merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi secara sistematis dan meluas.

Anggota Komnas HAM, Choirul Anam, mengatakan unsur pelanggaran HAM berat terlihat dari adanya pembunuhan dan penganiayaan terhadap warga sipil. Adapun unsur sistematis dan meluas terlihat dari adanya komando terhadap pelaku di lapangan, serta pembunuhan tersebut ditujukan kepada warga sipil.

Rantai komando dikuatkan dengan adanya komunikasi antara anggota TNI Koramil Enarotali dan perwira penghubung. Sesuai dengan dokumen ringkasan eksekutif Komnas HAM yang diperoleh Tempo, saksi mendengar bahwa anggota TNI meminta petunjuk atasannya karena menganggap kejadian di Lapangan Karel Gobay, Enarotali, menyerupai situasi perang.

Dengan temuan tersebut, Komnas HAM berkesimpulan bahwa anggota TNI, Komando Daerah Militer XVII Cenderawasih, dan komando TNI di lapangan bertanggung jawab atas peristiwa tersebut. Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Darat, Mayor Jenderal Prantara Santoso, tidak menjawab permintaan konfirmasi Tempo mengenai dugaan keterlibatan anggota TNI AD dalam peristiwa tersebut.

Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, pernah membantah temuan Komnas HAM ini. Moeldoko, yang menjabat Panglima TNI pada 2013-2015, mengatakan kasus Paniai tak memenuhi unsur pelanggaran HAM berat. “Tidak ada kejadian terstruktur, sistematis. Tidak ada perintah dari atas,” kata Moeldoko di Kantor Staf Presiden pada 17 Februari 2020.

Moeldoko berdalih bahwa peristiwa Paniai terjadi secara tiba-tiba. Pemerintah tak pernah menginstruksikan polisi dan militer melakukan kekerasan terhadap masyarakat sipil.

Choirul Anam mengatakan temuan lembaganya tersebut sudah cukup untuk dinaikkan ke tahap penyidikan. Ia pun meminta tim penyidik kejaksaan dapat mengembangkan informasi dari dokumen penyelidikan lembaganya yang telah diserahkan ke Kejaksaan Agung pada 2020.

Menurut Anam, kejaksaan tak perlu lagi mencari keterangan dari para saksi korban. Seharusnya tim penyidik berfokus memeriksa terduga pelaku dalam peristiwa tersebut. “Tantangan paling besar adalah mengungkap konstruksi peristiwa dengan memperdalam soal terduga pelaku dan dokumen yang menyertainya,” kata Anam, kemarin.

Peneliti dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Tioria Pretty, ragu akan kesungguhan kejaksaan dalam menyidik kasus Paniai ini. Ia menganggap penyidikan yang dilakukan kejaksaan seolah-olah mengulangi penyelidikan Komnas HAM. Dia justru khawatir kesimpulan penyidikan kejaksaan itu nantinya digunakan untuk menghentikan penyidikan kasus Paniai. “Kami khawatir hasilnya hanya penerbitan SP3,” katanya.

Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Kontras ini mendesak kejaksaan transparan dalam penyidikan kasus Paniai. Kontras telah mengirim surat keterbukaan informasi publik ke kejaksaan pada awal Desember 2021. Surat itu berisi permintaan agar kejaksaan membuka daftar 22 anggota tim penyidik Paniai.

Kontras juga meminta penjelasan ihwal rencana penyidikan yang akan dilakukan kejaksaan serta meminta kejaksaan memasukkan tokoh masyarakat sipil ke tim penyidikan kasus dugaan pelanggaran HAM berat dalam insiden Paniai tersebut. “Tokoh masyarakat sipil sebaiknya dilibatkan di tim ini,” ujar Tioria.

Example 300250
Example 120x600